Ticker

6/recent/ticker-posts

Review Buku: Apakah Ucapan Bisa Menjadi Obat? (Temperature of Language)


Melihat dari judul versi terjemahan, saya mengira buku ini berisi tentang tips untuk bisa berkata-kata baik dan dampak positifnya pada kehidupan sehari-hari. Namun, ternyata buku ini lebih seperti jurnal pribadi penulis yang dibukukan. 

Penulis mengisi tiap halaman dengan kejadian kecil yang berkesan baginya, kenangan yang muncul, serta buku maupun film yang penulis baca dan tonton. Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, penulis jadi seperti mengajak orang-orang untuk melihat hal-hal remeh yang ia alami di kehidupannya. Ia juga memberikan interpretasinya sendiri terhadap kejadian yang ada. 

Buku ini punya tiga bab: 1. Ucapan, Sesuatu yang Terpatri dalam Hati, 2. Tulisan, Bunga yang Tak Pernah Layu, dan 3. Baris, Bukti Bahwa Kita Masih Hidup. Ketiga bab tersebut punya subbab-nya tersendiri yang penuh dengan kisah-kisah yang dialami oleh penulis. 

Meski punya tiga bab, saya kesulitan untuk menemukan perbedaan dari bab-bab itu. Semuanya tampak sama dan isinya juga agak random. Saya jadi teringat event 30 Hari Bercerita di Instagram. Mungkin bila event tersebut dibukukan, kira-kira tampilan isinya akan seperti buku ini.

...banyak sekali hal yang istimewa di dunia ini karena sifatnya yang tidak istimewa. - hlm 39

Bagian favorit saya dari buku ini adalah kata pengantar dari penulis. Di kata pengantar, penulis menuliskan kalau bahasa memiliki suhu tersendiri. Tingkat kehangatan dan kedinginan dari bahasa berbeda-beda bagi semua orang. Ada bahasa yang panas, bahasa yang dingin, juga bahasa yang hangat. Bahasa hangat bisa merangkul seseorang yang sedang bersedih. Lalu, bahasa yang panas mungkin akan membuat orang yang mendengarnya merasa terbakar atau marah. Sementara, bahasa yang dingin bisa saja membuat lawan bicara melunak atau malah membuat hati lawan bicara membeku, tergantung situasi dan kondisi. 

Menarik sekali pembahasan tentang suhu bahasa ini. Jika biasanya ada bahasan soal perkataan yang kasar atau baik, penulis malah membahas tentang suhu bahasa. Bicara soal suhu artinya sama dengan bicara soal indra perasa. Sepertinya, itulah yang ingin digarisbahawahi penulis untuk kisah-kisah yang ia sampaikan.

Meski isinya random, penulis mencoba untuk mengambil kesimpulan dari semua subbab yang ia tulis. Beberapa kisah cukup menambah infomasi bagi saya. Seperti pembahasan tentang Robin Williams, main cast di film Jumanji (1995) yang bunuh diri di usia 63 tahun setelah ia terkena Lewy Body Dementia (LBD). Ternyata, Robin bukan hanya aktor, tetapi juga seorang komedian. Melihat seorang komedian mengakhiri hidupnya dengan tragis, jelas bikin nyesek, tapi juga sangat disayangkan. Orang-orang cukup pandai menghibur orang lain, tapi tidak banyak yang tahu bagaimana cara menghibur diri sendiri. 

Di sisi lain, penulis juga menulis tentang Yasuo Takamatsu, seorang pria yang mendapatkan sertifikat skin scuba pada usia 57 tahun. Rupanya, alasan pria itu tidak sederhana. Ia merupakan salah satu keluarga dari orang yang menghilang dalam tsunami Jepang tahun 2011. Yasuo Takamatsu pun mulai menjadi penyelam untuk bisa menemukan istrinya yang menghilang dalam tsunami itu. Saya mencari hal ini di Google dan mendapati kalau sampai saat ini Yasuo masih belum menemukan istrinya. Sedih sekali rasanya mengetahui hal itu. 

Selain ulasan di atas, ada tambahan untuk penerbit tentang tulisan hangul yang saya baca di halaman 76. Mungkin alangkah lebih baik bila ditulis versi latinnya juga karena tidak semua orang bisa baca hangul. 

Secara keseluruhan, buku ini menyenangkan sekali dibaca, dan cocok untuk pembaca yang suka nonfiksi berbentuk narasi.

---

Kutipan: 

1. Karena pernah sakit, kita bisa memastikan orang-orang lain tidak sakit. - hlm 4

2. Konon, cinta adalah melakukan apa yang diinginkan pasangan kita. Namun, mungkin cinta seperti itu termasuk cinta yang kecil, karena mungkin saja cinta yang besar adalah ketika kita tidak melakukan apa yang dibenci pasangan kita. - hlm 8

3. "Ya. Jika terlalu keras dan padat, pagoda ini tidak akan bisa bertahan menghadapi hujan dan angin. Pasti roboh. Bukan hanya pagoda. Segala sesuatu membutuhkan celah agar kuat..." - hlm 9

4. Namun, sesuatu yang semu tak bertahan lama. Tanggal kedaluwarsanya sangat singkat. Sesuatu yang semu itu tak nyata sehingga suatu hari nanti, kebenaran akan terungkap. Baik barang, orang, maupun perasaan. - hlm 33

5. Kata-kata hiburan hanya efektif jika diucapkan saat sudah matang dan memiliki suhu yang tepat. Hiburan yang disampaikan tanpa pikir panjang dan dengan kata-kata seadanya hanya akan mengakibatkan efek samping. - hlm 41

6. Misalnya, kata-kata "jangan putus asa". Ada orang yang mungkin terhibur mendengar komentar seperti itu, tapi ada juga yang tidak. Bagi seseorang yang tidak memiliki tenaga untuk mengerahkan semangat, tidak ada kata-kata yang lebih hampa daripada "ayo, semangat!" Sebenarnya mendesak seseorang yang sedang lelah untuk mengerahkan tenaga itu termasuk hiburan atau paksaan? - hlm 41

7. Seperti dikatakan pemuda tadi, sifat seseorang bisa terlihat dalam hal-hal remeh. - hlm 46 

8. Ketika rasa penasaran terbit, janganlah menahannya dengan kata-kata "memang seperti itu". Kemajuan dalam hidup biasanya dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan remeh. - hlm 61

9. "Writing? Menulis? Semakin sering kau memperbaiki tulisanmu, akan semakin cemerlanglah tulisanmu. Menulis adalah menulis ulang. Writing is rewriting." - hlm 87

10. Dan segala sesuatu yang mendetail pasti sensitif. - hlm 95

11. Mungkin itulah sebabnya orang-orang yang kita sebut "profesional" cenderung melakukan pekerjaan yang mereka benci sampai tuntas. Tidak hanya sampai tuntas. Walaupun harus melakukan sesuatu yang mereka benci, mereka tidak menunjukkan bahwa mereka benci melakukannya. Kenapa? Karena mereka profesional. - hlm 100

12. Menurut saya, sebaiknya kita berpikir apakah kita ingn bekerja serius sebagai profesional atau bersenang-senang sebagai amatir. - hlm 102

13. Jika melakukan sesuatu yang seharusnya kaulakukan secara profesional dengan cara amatir, kau akan dijelek-jelekkan. Jika mempertaruhkan hidup seperti seorang profesional untuk sesuatu yang seharusnya kaunikmati sebagai amatir, kau bisa berada dalam situasi serius yang mungkin membuatmu kehilangan nyawa. - hlm 102

14. Mungkin juga cinta berawal ketika kita mampu menyadari diri kita dan semua perasaan dalam diri kita. - hlm 113

15. Orang menghabiskan banyak waktu berkomunikasi dengan orang lain melalui media sosial, tapi hanya sedikit yang benar-benar berkomunikasi dengan diri sendiri dan benar-benar mengamati kondisi fisik serta mental mereka. - hlm 195

16. Saya bertanya-tanya apakah kita perlu mengarahkan mata pedang kepada diri kita sendiri terlepas dari banyak hal lain yang harus kita lawan dalam hidup. Menurut saya, menjalin hubungan baik dengan diri sendiri jauh lebih penting daripada melawan diri sendiri. - hlm 195

---

Identitas buku: 

Judul: Apakah Ucapan Bisa Menjadi Obat?

Judul lain: Temperature of Language

Penulis: Lee Ki Joo

Terbit: 2021 (versi terjemahan)

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

ISBN: 987-602-06-5180-4

sampul buku "Apakah Ucapan Bisa Jadi Obat" (ebook.gramedia.com)

blurb buku "Apakah Ucapan Bisa Jadi Obat" (ebook.gramedia.com)




Posting Komentar

4 Komentar

  1. Wah, menarik ya. Apalagi yang bagian bahasa memiliki suhunya masing-masing. Membosankan ngga ya kira-kira isi bukunya kalau random gitu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukunya agak subjektif, Kak. Ada bagian yang seru, ada juga yang bikin bosan. Lumayan terhibur liat quote dari penulis

      Hapus
  2. Saya barusan selesai baca dan sudah bikin resensinya, tapi kayaknya dipublikasikan dua hari ke depan soalnya masih ada antrian resensi.

    Pada buku ini saya merasa relate dan bisa mendalami cerita yang membahas soal orang tua. Pokoknya bikin berkaca2 banget. Lemah banget saya sama tulisan yang bahas hubungan anak dan orang tua.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah resensinya terbit di mana, Kak? Pengin baca dong kalau sudah terbit.

      Iya emang bikin nyesek, Kak. Nulis tentang ibunya hati-hati banget penulisnya

      Hapus