Saya pertama kali tahu soal istilah childfree dari pos di blog Celestilla yang berjudul Drama Childfree. Dalam pos tersebut disebutkan kalau ada seorang influencer yang menyuarakan kalau ia dan suami sudah sepakat untuk tidak memiliki momongan.
Karena istilah tersebut masih terasa sangat baru buat saya, saya pun membaca utas-utas ataupun pos lain yang berhubungan dengan childfree tersebut. Pro dan kontra terus bergulir sampai ke arah yang agak sulit untuk dibuktikan kebenaran pendapatnya. Jadi, akhirnya saya memutuskan kalau saya tidak 'menemukan apa-apa' dari pro dan kontra yang muncul di internet.
Lalu, tak lama novel Ours muncul di feed dan story Instagram saya, jadi ini seperti pencerahan sekali. Apalagi, novel ini juga tersedia di Gramedia Digital.
|
blurb novel Ours |
***
Beberapa kekhawatiran soal childfree mungkin muncul dari perasaan takut kalau suatu hari nanti manusia akan punah. Jika banyak orang yang berpikir untuk menjadi childfree, dengan alasan yang berbeda-beda, ada kemungkinan angka kelahiran akan menurun. Jika angka kelahiran menurun, populasi manusia juga akan menurun, lalu kepunahan manusia mungkin akan terjadi.
Beberapa negara, seperti Korea Selatan, mengalami menurunan kelahiran. Banyak muda-mudi yang memilih untuk tidak menikah dan atau tidak memiliki anak. Pemerintah Korea Selatan pun melakukan berbagai kebijakan agar angka kelahiran tidak terus menurun.
Di sisi lain yang lebih kompleks, orang-orang dengan keinginan childfree tentu punya berbagai alasan. Bisa dari segi ekonomi, trauma masa lalu, atau hal-hal lainnya yang mereka simpan sendiri.
Dalam novel Ours, Prita dan Andi sepakat untuk tidak memiliki anak karena adanya trauma masa lalu pada Prita. Mereka menyepakati hal tersebut sebelum menikah, tetapi tidak memberitahu anggota keluarga yang lain karena pasti akan dianggap aneh oleh orang-orang dan menimbulkan bentrokan tersendiri.
Prita, perempuan pekerja keras di kantor dan punya kepercayaan diri tinggi. Namun, ia punya masa lalu dengan ibunya yang tidak terselesaikan. Sementara Andi, yang menerima Prita apa adanya, punya keluarga besar yang cukup gampang terhasut oleh omongan orang.
"Ibu kayak nggak bisa membiarkan omongan orang lain lewat jadi angin lalu. Semuanya masuk kuping dan nggak keluar-keluar."
Berbagai konflik harus dilalui Prita dan Andi. Dari sisi perempuan, Prita mendapat cemooh paling besar. Orang-orang mempertanyakan apakah ia mandul, ataukah ia sengaja menolak kodratnya sebagai perempuan, serta menyalahkan Prita yang sibuk kerja dan membuatnya belum memiliki anak. Tak hanya itu, latar belakang keluarga Prita yang broken home juga sempat disebut-sebut oleh ibu Andi.
Sementara dari sisi Andi, ia harus menjadi jembatan antara Prita dan keluarganya, dan jelas itu tidak mudah.
Anehnya, orang-orang yang mempertanyakan keputusan Prita dan Andi tidak pernah 'benar-benar bertanya'. Pertanyaan mereka kebanyakan hanya pertanyaan subjektif yang menunjukkan kalau mereka heran. Tidak pernah ada yang bertanya 'kenapa?' Padahal, dari sisi Prita sendiri juga menanggung beban yang berat karena harus merelakan dirinya untuk tidak memiliki anak.
Selain itu, novel ini juga punya karakterisasi yang bagus dan diolah dengan baik. Prita dan Andi so sweet sekali, di mana pun dan kapan pun selalu diskusi. Komunikasi mereka terbuka dan lancar. Saya suka membaca kalimat narasi dan dialognya yang to the point dan juga dengan penjelasan yang gampang dimengerti. Plotnya juga seru dan tidak bikin bosan. Tak hanya itu, ending cerita juga keren sekali. Seperti bikin mikir, kok hanya itu? Eh, tapi bener sih penyelesaian yang "begitu aja" ternyata juga sulit untuk dipraktekkan.
Tapi, ada beberapa hal yang bikin saya penasaran. Apa alasan dari sisi Andi yang bikin dia mau untuk childfree? Saya tidak menemukan penjelasannya di sana, entah karena terlewat atau memang tidak ada. Juga, masa lalu Prita diceritakan dengan agak kabur, jadi masih menyisakan banyak pertanyaan.
Secara keseluruhan, novel ini dikemas dengan menarik dan cocok sekali untuk butuh bacaan yang related banget dengan keadaan pernikahan di masa kini.
Kutipan:
1. "Bukan mana dari kita yang lebih kuat, Ndi. Yang utama itu kita saling menguatkan. Kamu yang bikin aku berusaha untuk sekuat apa pun."
2. "Saya enggak yakin bisa jadi ibu yang baik."
"Kan belum mencoba? Tahunya bagaimana?"
"Justru itu, Pak. Saya enggak mau coba-coba."
3. "Gue rasa lo itu punya prinsip. Itu harusnya bagus. Jadi, lo kagak bakal terpengaruh kata-kata orang juga. Dan, suami-istri itu harus punya prinsip yang sama. Wah, kalau kagak, bisa kayak gue. Rumah tangganya gonjang-gonjing karena kata orang," lanjut Kenzo.
4. "Kalau aku nggak pernah ngeluh, bukan berarti nggak repot. Kadang urus anak juga capek dan nggak mudah. Namanya juga membesarkan anak manusia. Cuma itu konsekuensi dari pilihanku, mau punya anak dan juga kerja. Ya, bagian senang dan susah semuanya ditelan sendiri aja. Media sosial kan apa yang ingin orang lain lihat dari kita. Kalau anaknya lagi nangis ya nggak direkam, tapi dibikin tenang."
0 Komentar