Ticker

6/recent/ticker-posts

[Review] Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982


Judul: Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982
Penulis: Cho Nam-joo
Alih bahasa: Iingliana
Editor: Juliana Tan
Penyelaras aksara: Mery Riansyah
Ilustrator: Bella Ansori
Tebal: 192 halaman
Terbit: 18 November 2019
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-602-06361-91
Keterangan: Femisisme, Terjemahan, Film


B L U R B


Kim Ji-yeong adalah anak perempuan yang terlahir dalam keluarga yang mengharapkan anak laki-laki, yang menjadi bulan-bulanan para guru pria di sekolah, dan yang disalahkan ayahnya ketika ia diganggu anak laki-laki dalam perjalanan pulang dari sekolah di malam hari.

Kim Ji-yeong adalah mahasiswi yang tidak pernah direkomendasikan dosen untuk pekerjaan magang di perusahaan ternama, karyawan teladan yang tidak pernah mendapat promosi, dan istri yang melepaskan karier serta kebebasannya demi mengasuh anak.

Kim Ji-yeong mulai bertingkah aneh.

Kim Ji-yeong mulai mengalami depresi.

Kim Ji-yeong adalah sosok manusia yang memiliki jati dirinya sendiri.

Namun, Kim Ji-yeong adalah bagian dari semua perempuan di dunia.

Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 adalah novel sensasional dari Korea Selatan yang ramai dibicarakan di seluruh dunia. Kisah kehidupan seorang wanita muda yang terlahir di akhir abad ke-20 ini membangkitkan pertanyaan-pertanyaan tentang praktik misoginis dan penindasan institusional yang relevan bagi kita semua.

R E V I E W

Jika kita menyukai seseorang, bukankah kita seharusnya bersikap lebih ramah dan bersahabat? Itulah yang harus kita lakukan pada teman-teman kita, keluarga kita, bahkan anjing dan kucing kita. Itulah yang diketahui Kim Ji-yeong yang saat itu berusia delapan tahun. Gara-gara gangguan dari teman sebangkunya, Kim Ji-yeong selalu merasa tersiksa di sekolah. Ia sudah cukup merasa buruk akibat gangguan yang diterimanya selama ini, tetapi sekarang ia juga dianggap sebagai anak jahat yang salah paham tentang temannya. – hlm 39 
--- 
Kim Ji-yeong berumur 34 tahun. Ia menikah tiga tahun yang lalu dan melahirkan anak perempuannya tahun lalu. Ia tinggal di apartemen mewah seluas 80 meter persegi di pinggiran Seoul bersama suaminya, Jeong Dae-hyeon, dan putrinya, Jeong Ji-won. Jeong Dae-hyeon bekerja di perusahaan IT, sementara Kim Ji-yeong dulu bekerja di agensi humas berskala kecil sebelum putrinya lahir. -- hlm 9

Kim Ji-yeong mengalami keanehan yang membuatnya menjadi orang lain. Kim Ji-yeong tanpa sadar berbicara seperti wanita-wanita yang ia kenal. Kim Ji-yeong bisa berubah menjadi ibunya atau menjadi Cha Seung-yeon, temannya.

Keanehan itu disadari suaminya, terlebih ketika Kim Ji-yeong kemudian membuat keributan ketika hari Chuseok di rumah keluarga besar suaminya. Suaminya kemudian membawa Kim Ji-yeong ke psikiater.

Cerita bergulir ke tahun kelahiran Kim Ji-yeong. Di masa ketika perempuan hanya menjadi nomor terakhir dalam hal apa pun. Bahkan kelahiran Ji-yeong dan kakaknya tak pernah diharapkan. Begitu pula kehadiran saudari Ji-yeong yang pada akhirnya dihapuskan sebelum ia lahir. Perempuan-perempuan pada masa itu tidak dianggap. Bahkan jerih payah perempuan yang digunakan untuk keluarga, pada akhirnya tetap tidak terlihat.

“Sungguh. Ketika Ibu masih duduk di bangku SD, di antara kami lima bersaudara, Ibu yang paling pintar.”
“Kalau begitu, kenapa Ibu tidak menjadi guru?”
“Karena Ibu harus bekerja untuk menyekolahkan paman-pamanmu. Itulah yang dilakukan semua orang. Pada masa itu, para wanita hidup seperti itu.”
“Kalau begitu, Ibu bisa menjadi guru sekarang.”
“Sekarang Ibu harus mencari uang untuk menyekolahkan kalian. Itulah yang dilakukan semua orang. Pada masa sekarang, itulah yang dilakukan para ibu.” – hlm 34


Ibu Ji-yeong yang pernah menyesal akibat terlalu menurut pada doktrin masyarakat itu mengusahakan agar anak-anak perempuannya bisa "berpikir" dan terus "berusaha". Agar kemampuan Ji-yeong dan kakaknya tidak digunakan untuk "membantu orang lain" saja, tetapi membantu diri mereka sendiri terlebih dahulu. Bahkan ibu Ji-yeong bekerja apa pun yang menghasilkan uang agar kehidupan keluarga serta anak perempuannya mapan. 

Kim Ji-yeong berhasil mendapatkan pekerjaan pertamanya setelah bersusah payah mencari. Ia bahkan harus menurunkan standarnya untuk menemukan pekerjaan, hingga salah satu perusahaan yang memiliki ketua perempuan akhirnya merekrutnya. Pada masa itu, perempuan yang bekerja dianggap merepotkan oleh masyarakat. Sebuah realita yang menyedihkan.
“Perusahaan akan merasa terbebani apabila seorang wanita terlalu pintar. Coba lihat sekarang, apakah kau tahu betapa mengintimidasinya dirimu?” – hlm 95
 “Lalu apa yang dilakukan kakak senior itu sekarang?”
“Tahun lalu dia lulus ujian menjadi pengacara. Beritanya cukup heboh karena dia bisa lulus hanya setelah beberapa tahun. Bahkan ada spanduknya. Kau lihat spanduk itu, bukan?”
“Ah, benar. Aku ingat. Waktu itu aku kagum padanya.”
“Universitas kita konyol sekali, bukan? Waktu itu mereka berkata dia terlalu pintar dan mengintimidasi. Sekarang setelah dia berhasil lulus ujian tanpa dukungan sedikit pun dari universitas, mereka sibuk membangga-banggakan lulus mereka.” – hlm 97

Meski berhasil melawan arus pola pikir masyarakat, Ji-yeong masih terjebak oleh pola pikirnya sendiri. Kim Ji-yeong yang memang sepertinya sering merasa serba salah, terus saja merasa tidak enak ketika mengemukakan pendapatnya. Bahkan ketika pendapatnya itu benar, Ji-yeong tetap saja meminta maaf, sehingga orang-orang tidak tahu bahwa ia telah tersinggung akan sesuatu. Puncaknya ketika Kim Ji-yeong menikah dan masalah anak pun muncul. Kim Ji-yeong takut akan kehilangan hal-hal penting yang telah didapatkannya dengan susah payah.
“Kau berkata kita sebaiknya tidak memikirkan apa yang hilang dari kita. Aku mungkin akan kehilangan masa muda, kesehatan, pekerjaan, rekan-rekan kerja, teman-teman, rencana hidup, dan masa depanku. Karena itu aku selalu memikirkan apa yang hilang dariku. Tetapi apa yang akan hilang darimu?” -- hlm 136
“Kalau dia sudah lebih besar, kita bisa mencoba mempekerjakan pengasuh atau menitipkannya ke tempat penitipan anak. Dan selama itu kau bisa belajar lagi atau mencari pekerjaan lain. Kau bisa mengambil kesempatan ini untuk memulai pekerjaan baru. Aku akan membantumu.”
“Tidak bisakah kau berhenti mengoceh tentang bantuan? Kau membantu dalam urusan rumah tangga, membantu membesarkan anak, membantu urusan pekerjaanku. Memangnya rumah ini bukan rumahmu? Memangnya keluarga ini bukan keluargamu? Anak ini bukan anakmu? Lagi pula, selama aku bekerja, memangnya hanya aku sendiri yang menikmati hasilnya? Kenapa kau berbicara seolah-olah kau bersikap murah hati menyangkut pekerjaanku?” – hlm 143


Pada akhirnya Kim Ji-yeong merasakan bagaimana lelahnya menjadi seorang ibu. Yang lebih melelahkan lagi karena tidak satu pun mengerti perasaannya, bahkan terkesan meremehkan. 

“Jangan terlalu banyak menggerakkan pergelangan tanganmu. Tidak ada pilihan lain.”
“Aku harus mengasuh anak, mencuci pakaian, membersihkan rumah... Aku tidak mungkin tidak menggerakkan pergelangan tanganku,” kata Kim Ji-yeong lirih.
Dokter tua itu tersenyum lebar. “Orang-orang zaman dulu harus menggunakan kayu pemukul untuk mencuci pakaian, lalu merebusnya di atas api, lalu mengucek-uceknya sambil berjongkok. Sekarang ada mesin cuci dan pengisap debu. Wanita zaman sekarang tidak perlu repot-repot, kan?”
Pakaian kotor tidak bisa berjalan sendiri ke dalam mesin cuci, air dan detergen juga tidak bisa masuk sendiri, dan pakaian yang sudah selesai dicuci juga tidak bisa menyampirkan diri sendiri ke tali jemuran. Pengisap debu juga tidak berjalan-jalan sendiri sambil membawa lap basah. Kim Ji-yeong bertanya-tanya apakah dokter itu pernah menggunakan mesin cuci atau pengisap debu. – hlm 148-149

Dan bagian bikin miris adalah ketika Kim Ji-yeong akhirnya bisa istirahat dengan menjaga anak dan segala urusan rumah. Ia yang ingin bersantai sebentar di luar rumah, malah dihina oleh orang-orang di sekitarnya.

“Orang-orang menyebutku ibu-ibu kafe,” kata Kim Ji-yeong.
...
“Harga kopi itu 1.500 won. Mereka juga minum kopi yang sama, jadi seharusnya mereka tahu benar harganya. Memangnya aku bahkan tidak berhak minum kopi seharga 1.500 won? Tidak, anggap saja harga kopinya 15 juta won. Bagaimana aku ingin menghabiskan uang dari suamiku adalah urusan keluarga kita sendiri, bukan urusan mereka. Aku juga bukannya mencuri uangmu. Aku sudah melahirkan seorang anak dengan susah payah, aku sudah melepaskan hidupku, pekerjaanku, impianku, keseluruhan diriku demi membesarkan anakku. Tetapi aku malah dianggap seperti serangga. Lalu apa yang harus kulakukan sekarang?” – hlm 165-166
  

Overall, novel ini menceritakan sekali keluh kesah para perempuan di seluruh dunia dan sangat cocok dibaca oleh penyuka novel bertema mental illness. Dari novel ini terlihat sekali kalau mental illness itu tidak terjadi dalam satu atau dua hari, melainkan dalam jangka waktu yang sangat panjang.
(Saya jadi penasaran menonton filmnya karena di dalam novel ini sekilas diceritakan kalau suami Kim Ji-yeong itu orang yang baik, hanya saja kurang mendengarkan.)

“Kau ingin melakukannya?” tanya Jeong Dae-hyeon sekali lagi.
“Tidak juga,” sahut Kim Ji-yeong.
“Tentu saja tidak semua orang bisa melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Tapi, Ji-yeong, saat ini aku melakukan apa yang ingin kulakukan. Walaupun begitu, aku tidak mampu membantumu agar bisa melakukan apa yang ingin kau lakukan. Aku juga tidak ingin menyuruhmu melakukan apa yang tidak ingin kaulakukan. Itulah yang kupikirkan.” – hlm 162

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Munurut Fira, setelah baca ini..apa yang terasa di akhir buku? Memahami kalau tokoh utama sekadar ingin berbagi kisah hidupnya (yg mungkin mirip dg wanita kultur Asia), atau memang terasa ada tindakan tegas/usaha si tokoh utama untuk hidup lebih bahagia?
    -btw aq Alfath pakai email lain

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buku ini dari POV orang lain, Mbak. Dia menceritakan Kim Ji-yeong dan perempuan di Korea. Ya pada akhirnya tetap nggak ada tindakan sih

      Hapus